jump to navigation

Paradigma Komoditas ke Paradigma Hidup February 16, 2009

Posted by rachmaona in 1.
trackback

Pertanian secara luas melingkupi perikanan, pertanian pangan, kehutanan, dan peternakan. Sebagai tolak ukur ketahanan pangan suatu negara pertanian mampu mencerminkan standar hidup dari sebuah negara agraris seperti Indonesia.
Sebagai comparative advantage Indonesia pertanian selama ini hanya dipandang melalui sisi pencapaian produktivitas atau keberhasilan swasembada pangan, dan belum menyentuh aspek keberlanjutan pertanian. Selama beberapa dekade yang lalu, pertanian dipandang dari segi liberal dan tradisional. Pertanian diposisikan sebagai komoditas dan penyedia bahan baku industry yang harus diproduksi dalam jumlah banyak guna menghasilkan keuntungan yang maksimal.
Dalam pandangan kapitalis-liberalis –murni, sektor pertanian dipandang sebagai komoditas yang tunduk pada hukum permintaan, penawaran, harga, dan keuntungan (Krisnamurthi, 2006). Pandangan seperti ini menempatkan produk pertanian sebagai produk yang murah, sehingga petani hanya mampu bertindak sebagai price taker. Harga akan diatur oleh besarnya permintaan dan penawaran, artinya naik turunnya harga dikendalikan oleh jumlah komoditas pertanian yang tersedia di pasar dan permintaan konsumen pertanian terhadap komoditas tersebut. Sebagai contoh, petani bawang putih suatu saat akan mengalami kerugian akibat merosotnya harga yang disebabkan oleh melimpahnya komoditas bawang putih di pasar, sedangkan jumlah pembeli untuk komoditas bawang putih tetap.
Sedangkan menurut pandangan tradisional, peran pertanian hanya dilihat sebagai penyedia bahan baku, penyedia pasar, penyedia surplus modal, dan penyedia devisa (Kuznet, 1964). Pandangan tersebut mengakibatkan pertanian hanya ditempatkan dalam posisi untuk melayani kebutuhan industri bukan sebagai partnership. Padahal hubungan industri dan pertanian bersifat saling terkait dan saling tergantung (Krisnamurthi, 2006). Keberlangsungan industri tergantung pada ketersediaan bahan baku, dan keberlanjutan produksi bahan baku bergantung pada keberlangsungan proses produksi yang dilakukan oleh industri.
Kedua pandangan di atas melahirkan berbagai kebijakan yang berporos pada pencapaian swasembada pangan. Swasembada pangan yang dijadikan topic dalam politik pertanian pada era orde baru, merupakan ukuran keberhasilan sektor pertanian.
Sejak awal 1970-an pemerintahan orde baru menerapkan paket kebijakan teknologi dan kelembagaan yang akhirnya berhasil mengubah Indonesia dari negara pengimpor beras menjadi negara berswasembada beras pada tahun 1980-an. Namun keberhasilan yang dikemas dalam kebijakan revolusi hijau tersebut, rupanya hanya bersifat sementara dan memakan biaya yang sangat besar (Krisnamurthi, 2006). Biaya yang harus dibayar oleh program revolusi hijau ini adalah hilangnya institusi lokal, musnahnya keanekaragaman sumber daya hayati, menurunnya kualitas tanah, serta menurunnya kualitas lingkungan secara keseluruhan. Biaya terberat lain yang harus ditanggung adalah gagalnya peningkatan kesejahteraan dan keberdayaan petani walaupun produktivitas yang dicapai mencapai pada tahap swasembada. Sektor pertanian saat ini bahkan semakin tidak mandiri karena sudah sangat tergantung pada industri pertanian raksasa seperti industry benih, pupuk, pestisida, hingga mesin-mesin pertanian yang kesemua proyeknya dibiayai oleh utang dan inputnya didatangkan dari luar negeri (Irham, 2006).
Setelah era revolusi hijau dan krisis moneter 1997, pada tahun 2004 pemerintah kembali berhasil mencapai swasembada beras. Namun di lain hal permasalahan kesejahteraan petani, dan keberlanjutan pertanian tetap menjadi masalah utama yang melemahkan keberhasilan swasembada beras tersebut. Sensus penduduk pada tahun 2003, menunjukkan bahwa sejak tahun 1993 jumlah petani Indonesia mengalami peningkatan dari 20,8 juta menjadi 25,4 juta rumah tangga, atau dengan laju petumbuhan rata-rata sebesar 2,2 persen. Dari pertambahan tersebut jumlah petani “gurem”, -petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektar-, bertambah dari 10,8 juta atau 52,7 persen dari jumlah total rumah tangga petani, menjadi 13,7 juta pada tahun 2003 atau sekitar 56,5 persen (Krisnamurthi, 2006). Artinya telah terjadi kesenjangan antara ketersediaan lahan pertanian dengan jumlah pekerja yang bekerja dalam sektor pertanian. Jumlah lahan yang tersedia semakin sempit sedangkan julah pekerja yang ditampung pertanian semakin meningkat, inilah yang menjadikan kesejahteraan petani terpuruk, sebab petani hanya mampu menggarap lahan dengan luas yang sempit.
Pemenuhan kebutuhan pangan manusia ditunjang melalui serangkaian kegiatan dalam pertanian, sehingga kualitas pertanian mampu menggambarkan secara langsung kualitas hidup masyarakat sebagai konsumen produk pertanian. Kesehatan, kesejahteraan, kondisi lingkungan, dan keberdayaan adalah beberapa indikator yang dapat digambarkan melalui pertanian. Kualitas hidup tinggi yang dimiliki negara-negara maju merupakan cerminan tingginya kualitas pertanian yang mereka kembangkan.
Kompleksnya indikator kualitas hidup yang tergambar dalam kualitas pertanian memposisikan pertanian sebagai the way of life. The way of life tersebut harus dipelihara secara berkelanjutan, sebab selama manusia hidup pertanian tetap menjadi sektor yang berkaitan langsung dengan pangan, kesehatan dan kesejahteraan. Pentingnya pembangunan pertanian berkelanjutan melemahkan pandangan bahwa pertanian hanya dipandang sebagai komoditas dan penyedia bahan baku industri.
Sadar akan pentingnya perubahan pandangan terhadap pertanian, maka pada tanggal 11 September 2005, dicanangkanlah program revitalisasi pertanian. Tujuan utama revitalisasi pertanian adalah menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan konstektual dalam rangka menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian untuk mendukung pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain.
Penempatan secara proporsional dan vital tersebut digapai melalui serangkaian rencana perubahan paradigma. Revitalisasi pertanian memandang perlunya perubahan paradigma berpikir masyarakat terhadap sektor pertanian. Perubahan paradigma tersebut dicapai melalui penanaman cara pandang sebagai berikut:
– sebagai penghasil bahan pangan dan bahan baku industri
– pembangunan daerah dan pedesaan
– penyangga dalam krisis
– penghubung sosial ekonomi masyarakat dari berbagai daerah
– kelestarian sumber daya lingkungan
– pembangun sosial budaya masyarakat
– kesempatan kerja, devisa, dan PDB
Perubahan paradigma memang sangat dibutuhkan untuk mengubah mindset masyarakat. Rancangan revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan pun telah sedemikian baiknya disusun. Pelaksanaan untuk mengubah paradigma akankah sudah siap? Tergantung pada kesediaan insan bangsa ini untuk berpikir dalam jangka panjang da serius dalam mengeksekusi rancangan yang telah ada…….

Comments»

1. Ami POpo - February 26, 2009

kenapa ga masuk pertanian aja???
well….i think its better for you to discus with the real people in farm, like my father… hehehehehe


Leave a comment